Minggu, 18 Mei 2014

MAFIA BERKELEY DAN PEMBUNUHAN MASSAL DI INDONESIA

Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas 
di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia

“Kejadian di Indonesia pada tahun 1965 adalah merupakan kejadian terbaik lagi kepentingan Uncle Sam (Amerika Serikat - Pen) sejak Perang Dunia II” kata seorang pejabat Bank Dunia.

Sebagaimana dapat diikuti dalam cerita-cerita tentang Indonesia di masa lalu, Indonesia adalah daerah yang paling menggoda bagi para “petualang” dan pencari kekayaan/ kebahagiaan. Mereka menganggap Indonesia sebagai “hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia. Presiden Amerika Serikat Richard Nixon pada tahun 1967, mengatakan bahwa Indonesia adalah “hadiah terbesar (the greatest prize)” di wilayah Asia Tenggara.
Pada awal tahun 1960-an, mereka (Amerika Serikat dkk.-Pen) merasa kehilangan yang tak ternilai karena pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan seorang Nasionalis-Progresif yaitu Soekarno, yang dicap sebagai “berorientasi-Peking”, dan didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ± 3.000.000 massa anggotanya siap-siap menunggu kesempatan berkuasa.
Pada bulan Oktober 1965 terjadilah kudeta yang dilakukan oleh seorang kolonel. Pada saat itu beberapa jenderal Indonesia bertindak cepat menggagalkan kudeta tersebut, dan secara bersamaan membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang luar biasa dengan melumpuhkan kekuasaan Kepala Negara pada saat itu (Presiden Soekarno). Para penguasa militer pada saat itu juga membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah modern negeri ini. Kurang lebih 500.000 s/d 1.000.000 orang-orang yang dianggap komunis atau anggota PKI yang tidak bersenjata dan petani-petani yang dianggap simpatisannya dibunuh dengan keji. Usai pertumpahan darah tersebut, lenyaplah semangat nasionalisme yang berkobar-kobar, dan telah dikobar-kobarkan selama 10 tahun terakhir sebelum itu.
Dengan jatuhnya Sukarno yang memiliki nasionalisme tinggi, pemerintah baru berkesempatan membuka lebar-lebar kekayaan alam Indonesia yang luas itu bagi perusahaan-perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Untuk memuluskan masuknya pihak asing tersebut, dibentuk “Team Istimewa” di pemerintahan Indonesia yang terdiri atas Menteri-Menteri yang menguasai bidang perekonomian, yang oleh “orang dalam” sendiri dikenal sebagai – “The Berkeley
Mafia” (para Mafia dari Universitas Berkeley). Para ahli dan sarjana lulusan Universitas California tersebut berfungsi sebagai kelompok yang duduk dalam dewan penguasa. Orang-orang inilah yang kemudian membentuk “politik nasional baru” dari rejim yang baru tersebut.
(Mengapa hal yang demikian bisa terjadi? Untuk mengerti hal ini secara baik, kita perlu menoleh ke jaman kekuasaan Bung Karno waktu itu dan apa yang berlangsung di dalamnya tetapi tidak tampak dari luar)
Di balik kekuasaan Soekarno yang menonjol waktu itu, di dalamnya berlangsung “suatu permainan intrik intelektuil internasional “, yaitu suatu rencana perebutan kekuasaan terselubung yang melebihi khayalan Cecil Rhodes, bersembunyi di balik proyek-proyek perikemanusiaan dan universitas/ pendidikan tinggi. Mereka ini terdiri dari para jenderal, mahasiswa, dosen, dekan dan politisi.

BAGIAN I
MUNCULNYA SEORANG DEKAN

Begitu Jepang kalah dalam Perang Dunia II, maka terjadilah gerakan-gerakan revolusioner di Asia, dari India di Barat sampai Korea di Timur, dan dari Cina di Utara sampai Filipina di Selatan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan ancaman bagi rencana Amerika Serikat untuk membentuk Pax-Pasifik. Indonesia, meskipun sebelumnya secara gigih bertempur melawan Belanda, tetapi kemerdekaannya tidak diperoleh melalui pertempuran besar seluruh rakyat, melainkan melalui kesepakatan para pemimpinnya.
Saat itu, para pemimpin yang dekat dengan Barat “mengatur kemerdekaan Indonesia” di gedung-gedung mewah di Washington dan New York. Pada tahun 1949, orang-orang Amerika membujuk Belanda agar mengambil keputusan (mengakui kedaulatan Indonesia? -Pen) sebelum revolusi di Indonesia berlangsung lebih lama dengan konsekuensi yang lebih berat, ketika rakyat Indonesia lebih memahami dan mencintai nasionalisme. Tahun itu Indonesia menerima kemerdekaan politiknya, yang rancangan pengakuan kedaulatannya disusun dengan bantuan diplomat Amerika, dengan tetap menerima kehadiran Belanda secara ekonomi, tetapi pintu terbuka lebih lebar untuk Amerika Serikat, baik di bidang ekonomi maupun kebudayaan.
Diantara orang-orang Indonesia yang menjalankan manuver-manuver diplomatik pada saat itu adalah dua orang aristokrat muda:
  1. Sudjatmoko, yang oleh sahabat-sahabatnya orang Amerika dikenal dengan panggilan “Koko” dan
  2. Soemitro Djojohadikusumo; seorang doktor ekonomi dan diplomat.
Dua orang tersebut berasal dari kalangan atas dan adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), yaitu suatu partai kecil yang lebih berorientasi ke Barat, di antara sekian banyak partai-partai lain yang ada di Indonesia.
Di New York, dua orang ini namanya dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan apa yang biasa dikenal sebagai Vietnam Lobby, yang tidak lama kemudian menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang sesuai dengan selera politik Amerika. Golongan itu, yang di dalamnya juga termasuk Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan Liga India. Mereka adalah pelopor-pelopor kaum SOSKA (Sosialis Kanan).
“Kita harus berusaha, agar usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan Amerika Serikat untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia setelah Perang Dunia II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”, demikian dikatakan oleh Robert Delson, salah seorang anggota Liga yang menjadi pengacara di Park Avenue, dan menjadi penasehat hukum untuk Indonesia di Amerika Serikat.
Delson, selalu menemani dan membawa Soemitro Djojohadikusumo dan “Koko” dari kota satu ke kota yang lain, dan memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) – Kumpulan Orang-Orang Amerika Untuk Aksi-Aksi Demokratis, dan pemimpin-pemimpin tinggi buruh yang anti komunis. Mereka juga bergerak di kalangan anggota-anggota dari Lembaga Urusan Hubungan Luar Negeri (suatu badan yang dibiayai yayasan), yaitu suatu badan yang sangat berpengaruh dalam merumuskan politik Amerika Serikat.
Karena tidak suka kepada Soekarno dan kuatnya golongan kiri dari pejuang kemerdekaan Indonesia, para tokoh-tokoh Amerika Serikat melihat nasionalisme yang ditawarkan oleh Soedjatmoko dan Soemitro sebagai alternatif yang paling cocok. Menurut Soedjatmoko dihadapan tokoh-tokoh Amerika di New York, strategi Marshal Plan di Eropa bergantung pada “ketersediaan sumber-sumber daya di Asia”, dan ia menawarkan “kerjasama yang menguntungkan dengan Barat”. Sementara itu, pada awal 1949 bertempat di Sekolah untuk Studi Internasional Terkini (School of Advanced International Studies) yang dibiayai oleh Yayasan Ford, Soemitro mengatakan bahwa sosialisme yang diyakininya termasuk “akses seluas-luasnya” ke berbagai sumber daya alam Indonesia dan “insentif yang cukup” bagi investasi perusahaan asing.
Dalam pembicaraan-pembicaraan di Dewan Urusan Hubungan Luar Negeri, kedua orang Indonesia itu menunjukkan minatnya yang sungguh-sungguh untuk “memodernisasi” Indonesia, dan bukan untuk merevolusionerkannya.
Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, Soemitro Djojohadikusumo kembali ke Jakarta dan diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam suatu pemerintahan koalisi (dan Menteri Keuangan dalam beberapa kabinet berikutnya serta dekan fakultas ekonomi). Sebagai menteri, Soemitro Djojohadikusumo mempertahankan “stabilisasi ekonomi” yang didukung investasi Belanda, dan karena sangat menghindari radikalisme dia mengangkat seorang arsitek ekonomi dari Jerman Barat Hjalmar Schacht.
Soemitro Djojohadikusumo mendapat dukungan dari PSI dan Masyumi, partai politik yang lebih kuat dari PSI dan sekutu yang “modernis”, yang anggotanya pada umumnya terdiri dari para santri pedagang dan tuan tanah. Jelas, bahwa Soemitro Djojohadikusumo saat itu berenang melawan arus. PNI-nya Soekarno, NU, PKI dan Tentara – hampir semuanya kecuali PSI dan Masyumi, sedang hidup dalam arus gelombang semangat nasionalisme setelah perang.
Dalam Pemilihan Umum 1955 – yang pertama dan terakhir di Indonesia di masa Orde Lama, PSI mendapat suara yang sangat sedikit dan hanya menduduki tempat kelima. Bahkan lebih buruk lagi dalam pemilihan lokal untuk memilih anggota-anggota DPRD, PKI muncul sebagai partai terkuat.
Oleh sebab itu, pada waktu Soekarno mulai menasionalisasi aset-aset milik Belanda pada tahun 1957, Soemitro Djojohadikusumo menentangnya dan bergabung dengan para pemimpin Masyumi serta beberapa Komandan Tentara dalam pemberontakan yang berlangsung di daerah-daerah luar Jawa. Pemberontakan ini sempat didukung oleh CIA, tetapi tidak bisa bertahan lama dan gagal total. Karena kegagalan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi ini (PRRI/PERMESTA - Pen.), Soemitro Djojohadikusumo lari mengasingkan diri ke luar negeri dan menjadi konsultan usaha dan pemerintah di Singapura. PSI dan Masyumi dinyatakan sebagai partai-partai terlarang.
Kelompok-kelompok di Indonesia yang menjadi sekutu Amerika ini telah mengadakan persekongkolan dengan kekuatan imperialis untuk menggulingkan pemerintahan nasional populer hasil pemilihan rakyat, yang dipimpin oleh seorang yang dianggap sebagai George Washington-nya Indonesia, dan mereka kalah. Reputasi mereka hancur sehingga hanya keajaiban saja yang bisa membawa mereka kembali berkuasa.
Keajaiban itu terjadi sepuluh tahun kemudian, bukan dengan manuver diplomatik, peran partai politik atau invasi tentara Amerika. Cara-cara itu sudah terbukti gagal di Indonesia dan di tempat-tempat lain. Keajaiban itu datang melalui dunia pendidikan, dengan bantuan kebaikan para filantropis. Soemitro Djojohadikusumo telah muncul kembali. Dia menjadi Menteri Perdagangan dalam Pemerintahan Indonesia yang baru. Dia bukan lagi orang yang tidak penting. Pada waktu ini dia dikategorikan sebagai orang kedua di Indonesia, dan dia beserta kawan-kawan sefahamnya benar-benar menguasai keadaan.
Soemitro Djojohadikusumo tidak hanya sekedar seorang minoritas - politikus dan Menteri dalam Kabinet, tetapi sejak tahun 1951, dia adalah juga Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia di Jakarta. Disanalah dia mengatur pemuda-pemuda yang diajaknya bekerjasama membuat rencana untuk melaksanakan programnya bagi Indonesia. Di situlah juga Ford Foundation bersama-sama dengan dia mempropagandakan metode-metode yang sama.
Salah satu di antara peninggalan-peninggalan Soekarno yang tidak banyak lagi, adalah diadakannya sistem Universitas (suatu contoh yang jarang terjadi bahwa bantuan luar negeri dimanfaatkan sebaik-baiknya).
(Fortune, 1 Juni 1968)
***
Ford sebenarnya telah sejak tahun 50-an mengarahkan perhatiannya pada bidang pendidikan di Indonesia, tetapi yang mempeloporinya kemudian ternyata adalah Rockefeller Foundation.
Sudah sejak lama pendidikan adalah perpanjangan tangan alat negara. Adalah Dean Rusk yang mengatakan hal itu pada tahun 1952, beberapa bulan sebelum dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Asisten Menteri Dalam Luar Negeri untuk Seksi Timur Jauh untuk kemudian memimpin Rockefeller Foundation. “Agresi Komunis” mengharuskan tidak hanya agar orang-orang Amerika dilatih menghadapinya di sana (di Timur Jauh), “tetapi kita juga harus membuka fasilitas-fasilitas pelatihan untuk menambah jumlah kawan-kawan kita di seberang lautan Pasifik”.
Ford Foundation dibawah kepemimpinan Paul Hoffman (dan erat bekerjasama dengan Rockefeller Foundation) bergerak cepat menerapkan kata-kata Rusk tersebut di Indonesia. Paul Hoffman, yang juga pemimpin Marshall Plan di Eropa, turut membantu mengatur kemerdekaan Indonesia dengan menghentikan bantuan dana yang digunakan Belanda untuk memadamkan pemberontakan dan mengancam akan menghentikan seluruh bantuan. Ketika Amerika Serikat menggantikan Belanda, Hoffman dan Ford akan bekerja melalui universitas-universitas terbaik Amerika — MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard – untuk mencetak pemerintahan Indonesia menjadi para administrator modern yang secara tidak langsung bekerja dibawah perintah Amerika. Dalam istilah Ford, “para elit pembaharu” (modernizing elit).
“Anda tidak akan tidak dapat mempunyai negara modern tanpa elit pembaharu”, demikian kata Frank Sutton, wakil Presiden untuk Bagian Internasional dari Ford Foundation. “Itulah alasan kita memberikan perhatian begitu besar kepada masalah pendidikan di universitas”. Sutton menambahkan, bahwa tidak ada tempat yang lebih baik untuk menemukan “elite” semacam itu, kecuali di antara mereka yang merupakan lapisan atas dari suatu struktur sosial. Karena di situlah soal-soal prestise, kepemimpinan dan kepentingan kelompok (vested-interest) paling dipersoalkan sebagaimana selalu mereka lakukan.
Dengan jasa yang dibeli dari universitas-universitas di Amerika, akhirnya Ford berhasil membentuk suatu prasarana yang sulit dipatahkan dan mampu menerobos tiap lembaga kekuasaan yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa yang diseleksi dan digembleng oleh orang-orang Amerika dan dilatih untuk menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki keterampilan pada hakekatnya telah merupakan semacam pemerintahan yang mewakili partai-partai lama PSI-Masyumi, bahkan sebenarnya jauh lebih kuat dari partai-partai tersebut.
Ford mulai usahanya untuk membuat Indonesia menjadi “Negara Modern” pada tahun 1954 dengan proyek-proyek lapangan dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan Cornell University. Para sarjana yang dihasilkan oleh kedua proyek ini, satu di bidang ekonomi dan lainnya dalam pembangunan politik, secara efektif sejak saat itu berhasil mendominasi bidang “studi tentang Indonesia” di Amerika. Sungguh pun demikian, jika dibanding dengan yang terjadi di Indonesia, hasil yang diperoleh tersebut bisa digolongkan sebagai prestasi yang biasa saja. Melalui Pusat Studi Internasional (Center for International Studies) (gagasan Max Millikan dan W. W. Rostow, yang disponsori CIA), Ford bersama MIT membentuk satu tim untuk mempelajari “penyebab stagnasi ekonomi Indonesia”. Satu contoh yang sangat menarik dari upaya tersebut adalah studi dari Guy Pauker tentang “kendala politik” dalam pembangunan ekonomi, misalnya pemberontakan bersenjata. Rupanya, penguasaan sumber-sumber alam dan kebudayaan oleh lembaga-lembaga asing adalah di luar kerangka teori Pauker, yang mendapatkan latihan dari Harvard itu.
Dalam melakukan pekerjaannya itu, Pauker sempat berkenalan cukup baik dengan para perwira tinggi dari Angkatan Darat Indonesia. Pauker berpendapat bahwa “para perwira ini jauh lebih mengesankan” daripada para politikus. “Saya adalah orang pertama yang menaruh perhatian pada peranan militer dalam pembangunan ekonomi”, demikian pernyataan Pauker.
Pauker juga berhasil mengenal tokoh-tokoh sipil yang memegang peranan penting. “Kecuali segolongan yang sangat kecil, hampir semuanya tidak peduli sedikitpun tentang pembangunan modern”, kata Pauker. Tidaklah mengejutkan jika golongan sangat kecil yang dimaksudkannya itu adalah tidak lain aristokrat intelektual PSI, khususnya Soemitro Djojohadikusumo dan para mahasiswanya.
Sebenarnya Soemitro Djojohadikusumo ini memang sudah pernah mengikuti kuliah singkat yang diadakan oleh MIT-Team di Cambridge. Beberapa dari murid Soemitro Djojohadikusumo juga dikenal oleh MIT-Team, dan juga pernah mengikuti seminar tahunan yang dibiayai oleh CIA, yaitu seminar musim panas di Harvard oleh Henry Kissinger, seorang yang ahli strategi politik luar negeri Presiden Nixon.
Salah seorang dari mahasiswa itu adalah Prof. Dr. Moh. Sadli, anak seorang santri pedagang, yang menjadi sahabat Guy Pauker. Di Jakarta Pauker menggalang persahabatan dengan keluarga besar PSI dan membentuk kelompok studi politik, yang di antara anggota-anggotanya terdapat kepala Biro Perencanaan Nasional (BAPENAS), Ali Budiardjo dan istrinya, Miriam, yang juga adik Soedjatmoko.
Pauker adalah seorang kelahiran Rumania yang telah membantu terbentuknya kelompok “Sahabat-sahabat Amerika Serikat” di Bukares tidak lama setelah Perang Dunia II. Kemudian dia pergi ke Universitas Harvard untuk mendapatkan gelar. Banyak orang Indonesia menuduh Guy Pauker ini memiliki hubungan dengan CIA, tetapi ia mengingkarinya sampai tahun 1958, setelah dia bergabung dengan RAND Corporation. Di sini dia saling bertukar informasi dengan CIA, Pentagon dan Kementerian Luar Negeri. Sumber penting di Washington mengatakan bahwa dia “langsung ikut dalam membuat keputusan-keputusan”, sehingga kerahasiaannya sebagai CIA tak bisa diingkari lagi.
Pada tahun 1954 Ford mendanai Proyek Indonesia Modern dari Cornell dengan US $ 224.000. Dengan uang tersebut dan dana-dana Ford berikutnya, Ketua program, George Kahin, dapat membangun bagian ilmu pengetahuan sosial dari Indonesian Studies yang telah didirikan di Amerika Serikat. Bahkan universitas-universitas di Indonesia harus menggunakan studi-studi berorientasi elit (elite-oriented studies) dari Cornell untuk kuliah politik dan sejarah pasca kemerdekaan.
Di antara banyak orang-orang Indonesia yang dibawa ke Cornell dengan biaya dari Ford dan Rockefeller ini, yang mungkin sangat berpengaruh adalah ahli sosiologi-politik, Selo Sumardjan. Selo Sumardjan ini sebagai tangan kanan Sultan Hamengku Buwono IX, adalah salah satu orang kuat dalam rezim Indonesia baru saat itu.
Kelompok ilmu politik Kahin bekerja sama dengan Fakultas Ekonominya Soemitro Djojohadikusumo di Jakarta.
“Sebagian besar dari orang-orang yang masuk Universitas pada dasarnya berasal dari keluarga-keluarga borjuis atau birokrat-birokrat”, demikian Kahin. “Mereka sedikit sekali pengetahuannya tentang keadaan masyarakatnya”. Dengan pendekatan yang menyentuh, akhirnya Kahin berhasil menggerakan mereka untuk memahami masyarakatnya dengan tinggal di desa selam tiga bulan. Banyak yang tinggal di Amerika sampai empat tahun.
Bersama-sama dengan Widjojo Nitisastro, salah satu anak didik Soemitro Djojohadikusumo, Kahin mendirikan institut untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran tentang masalah pedesaan (villages studies). Hasilnya tidak banyak, hanya saja lewat institut itu penasehat-penasehat Amerika dapat membantu Ford memelihara hubungannya, pada masa-masa sulit kekuasaan Soekarno.
Kahin berpendapat, bahwa kerjasama Ford dan Cornell merupakan : kerjasama yang sangat baik”, dan lebih banyak manfaatnya sebagai samaran politik daripada dana yang dikucurkan.
“Dana-dana AID memang mudah didapat”, Kahin menjelaskan, “tetapi barang siapa pada waktu itu bekerja di bidang yang menyangkut masalah politik, di Indonesia ini, dengan bantuan uang Amerika, pasti akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih besar.”
Kahin salah seorang tokoh akademisi yang menghendaki perdamaian dengan Vietnam, kadang-kadang menjengkelkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahkan banyak mahasiswa-mahasiswanya yang jauh lebih radikal darinya.
Sungguhpun demikian; untuk kebanyakan orang Indonesia, peranan Kahin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan peranan Pauker. Kahin jalan terus untuk mengajar, sedang Pauker pergi ke RAND dan CIA. Akan tetapi pengaruhnya terhadap pembangunan bangsa Indonesia adalah sama.***

BERKELEY - TIMUR

MIT dan Cornell bertugas untuk membuat hubungan, mengumpulkan data dan mendidik tenaga ahli. Tugas selanjutnya jatuh pada Berkeley, yang harus melatih tokoh-tokoh Indonesia yang akan memegang peranan dan merebut kekuasaan pemerintahan itu, untuk kemudian mempraktekkan ajaran-ajarannya yang pro-Amerika itu. Dekan Fakultas Ekonominya Soemitro Djojohadikusumo menyediakan kampus akademis yang sempurna bagi para laskar ekonomi tersebut.
Untuk mengawasi proyek tersebut, Presiden Ford, Paul Hoffman menugaskan teman-teman lainnya, yaitu Michael Harris. Harris ini adalah orang yang pernah menjadi organisator CIO dan di bawah Hoffman yang mengetuai program Marshall Plan di Perancis, Swedia dan Jerman.
Menurut seorang professor dari Berkeley yang mengenal dia dari dekat, Harris adalah “seorang yang mempunyai tipe seperti Lovestone, seorang pemimpin buruh yang menjadikan kegiatan-kegiatan anti komunisnya bersama-sama dengan pemerintah sebagai suatu jabatan”.
Pada tahun 1951, Harris mengenal Soemitro Djojohadikusumo, ia pernah mengadakan survei Marshall Plan di Indonesia. Sebelum berangkat ke Indonesia, terlebih dulu dia telah mendapatkan briefing seluas-luasnya dari Delson, promotor Soemitro Djojohadikusumo di New York, yang juga menjadi penasehat hukum pemerintah Indonesia sejak 1949. Harris tiba di Jakarta tahun 1955, untuk membuatkan Soemitro Djojohadikusumo program baru untuk sarjana ekonomi dengan biaya Ford.
Dalam kesempatan ini tugas dipercayakan kepada Universitas Berkeley untuk memberikan sentuhan profesional dan kehormatan bidang akademis. Tugas pertama dari Team Berkeley ini adalah untuk mengganti professor-professor Belanda yang dikeluarkan oleh Soekarno, dan untuk membantu rekan-rekan junior Soemitro Djojohadikusumo di fakultasnya sehingga Ford dapat mengirim mereka kembali ke Berkeley untuk mendapatkan diploma yang lebih tinggi. Dalam pada itu di Berkeley sendiri sudah ada Sadli, yang bersama dengan Pauker (orangnya NET) yang memimpin New Center for South and Southeast Asian Studies (Pusat Studi Asia Selatan dan Tenggara). Anak didik Soemitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, memimpin rombongan pertama yang pergi ke Berkeley.
Sementara warga muda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sedang belajar ekonomi Amerika di ruangan-ruangan kuliah di Berkeley, pada saat yang sama para professor-professor dari Berkeley dengan giat merombak Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta menjadi sekolah ekonomi, statistik dan administrasi niaga a la Amerika.
Soekarno keberatan. Dalam suatu kuliah tahunan di fakultas, seorang dari anggota tim, Bruce Glassburner ingat bahwa Soekarno mengeluh. “Yang bisa mereka katakan pada saya hanyalah ‘Schumpeter and Keynes `(teori-teori ekonomi liberal -Pen) sedang waktu saya muda, saya membaca Marx “ kata Soekarno.
Soekarno boleh menggerutu dan mengeluh, tetapi kalau dia memerlukan segala macam bantuan pendidikan, dia harus menerima apa yang ia peroleh.
“Ketika Soekarno mengancam akan menghentikan pelajaran ekonomi Barat” kata John Howard yang lama menjabat direktur dari International Training and Research Program dari Ford, “Ford mengancam akan menghentikan semua program bantuan, dan hal ini berhasil merubah sikap Soekarno”.
Staf Berkeley juga turut serta dalam usahanya untuk meminggirkan garis sosialismenya Sukarno dan politik nasional Indonesia. “Dalam tahun-tahun 1958-1959 kita dapat banyak tekanan-tekanan untuk merombak kurikulum”, demikian Glassburner. “Kita berusaha mengakalinya. Kita pakai kata sosialisme sebanyak mungkin dalam judul-judul kuliah, tetapi yang sebenarnya isinya lain. Kita tetap berusaha untuk memelihara integritas akademis”.
Proyek yang berlangsung 6 tahun dengan biaya US $ 2,500,000. itu, walaupun tidak pernah dinyatakan, sebenarnya mempunyai tujuan yang jelas. Sebagaimana dijelaskan oleh John Howard sendiri, “Menurut Ford ini adalah melatih orang-orang yang akan memimpin negara (Indonesia) apabila Soekarno sudah tidak memerintah lagi”.
Pantainya Soemitro Djojohadikusumo, PSI yang kecil itu, tak bisa diharapkan untuk mengalahkan Soekarno lewat PEMILU. Tetapi Soemitro Djojohadikusumo merasa, bahwa PSI akan dapat mempunyai pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan apa yang mungkin didapat dengan melalui pemungutan suara, yaitu dengan menempatkan orang-orangnya pada jabatan-jabatan yang merupakan kunci dalam pemerintahan”. Demikian diceritakan oleh Len Doyle, seorang profesor bisnis dari Irlandia, orang yang menjabat ketua pertama dari proyek itu.
Waktu Soemitro Djojohadikusumo dalam pengasingan, fakultasnya jalan terus. Para mahasiswanya mengunjungi dia secara diam-diam dalam perjalanannya ke dan dari Amerika Serikat. Orang-orang Amerika yang berkuasa seperti Harry Goldberg, dan seorang pemimpin buruh yang juga merangkap kepala program internasional CIA, yaitu Letnan Joy Loverstone, memelihara hubungan rapat dan mengatur agar semua pesan-pesan Soemitro Djojohadikusumo sampai kepada orang-orangnya di Indonesia. Tidak ada Dekan yang ditunjuk untuk mengganti dia di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo adalah tetap Dekan “in absentia”.
Bermacam intrik yang non-akademis, hampir-hampir menyebabkan kericuhan di kalangan professor-professor yang konservatif. Kecuali professor Doyle, “Saya merasakan sebagian besar kesukaran yang harus saya hadapi mungkin disebabkan karena saya sendiri tidak begitu yakin terhadap posisi Soemitro Djojohadikusumo, sebagaimana halnya dengan wakil dari Ford Foundation dan mungkin CIA“ kata Doyle dalam suatu omongan.
Harris mencoba menyuruh Doyle untuk “menyewa 2-3 orang Amerika yang dekat dengan Soemitro Djojohadikusumo”. Salah seorang dari yang harus disewa itu adalah William Hollinger, kawan Soemitro Djojohadikusumo dari MIT-Team. Doyle menolak.
“Jelas bahwa Soemitro Djojohadikusumo akan melanjutkan memimpin fakultasnya dari Singapura”. Tetapi itu ia tidak bekerja dengan cara seperti itu, Doyle berkata, “saya berpendapat, bahwa universitas seharusnya jangan terlibat dalam apa yang pada hakekatnya merupakan pemberontakan terhadap pemerintah, meskipun kita bersimpati terhadap penyebab dan tujuan pemberontakan itu”.
Kegigihan Doyle yang sendirian mempertahankan integritas akademis melawan tekanan-tekanan politik yang disalurkan lewat Ford tidak mendapat penghargaan. Meskipun dia di kirim untuk 2 tahun, tetapi dia sudah dipanggil kembali oleh Berkeley ketika baru bertugas satu tahun.
Pejabat-pejabat Berkeley dengan hormat mengatakan: “Dia mencoba melaksanakan sesuatu yang lain. Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali memanggilnya pulang”. Sebetulnya Harris lah yang membuatnya demikian. “Menurut saya memang betul-betul ada persoalan antara Doyle dan fakultas” katanya.
Ralph Anspach, seorang anggota team Berkeley yang mendukung Doyle dan sekarang mengajar di San Francisco sangat muak terhadap apa yang disaksikannya di Jakarta sehingga ia tidak mau lagi mengajar ilmu ekonomi terapan.
“Saya merasa bahwa pada akhirnya saya akan merupakan bagian dari politik kekuasaan Amerika”, katanya, “memasukkan ilmu pengetahuan Amerika, dan sikap serta kebudayaan Amerika ... menguasai negara-negara lain — dan melakukan ini semua dengan minum-minum dan dibayar dengan mahal. Saya baru saja keluar dari semua ini”.
Doyle dan Anspach adalah merupakan pengecualian. Kebanyakan dari profesor-profesor menganggap proyek — sebagaimana dimaksud oleh Ford— sebagai permulaan dari kariernya. Misalnya Glassburner, dia menyatakan: “Ini kesempatan luar biasa untuk saya. Tiga tahun di sana (Indonesia) telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi seorang ekonom. Menurut saya – saya telah menjadi ekonom pembangunan, dan saya telah mengenal Indonesia. Ini membuat perbedaan yang luar biasa dalam karier saya”.
Berkeley mengeluarkan orang-orangnya dari Jakarta pada tahun 1961-1962. Pertentangan antara perwakilan Ford dan ketua Berkeley seperti perebutan pimpinan atas proyek tersebut, mengakibatkan cepat berakhirnya proyek tersebut. Yang lebih penting adalah memang para professor tersebut sudah tidak diperlukan lagi, dan mungkin mereka secara politis menjadi beban tersendiri. Sementara itu, orang-orang dari kelompok Soemitro Djojohadikusumo dengan gelar-gelarnya yang mentereng telah kembali ke Indonesia dan mengambil alih kembali kendali Universitas.
Team Berkeley telah melaksanakan tugasnya dengan baik. “Jaga semuanya”, kata Glassburner dengan bangga. “Kita sudah memulainya .... dan dengan uang bantuan Ford Foundation, kita berhasil mendidik sekitar 40 ahli ekonomi”. Apa yang didapat Universitas dari itu? “Yaa, uang dan kepuasan telah melaksanakan tugas dengan balik”.

BAGIAN II
SEKOLAH UNTUK TENTARA

“Yang mengagumkan adalah bahwa kaum modernis itu mendapatkan kesempatan yang begitu luas untuk menguasai keadaan. Mereka mudah masuk, karena rejim militer yang berkuasa memilih untuk bersekutu dengan kaum intelektual dan akademisi, berbeda dengan yang lain-lain di dunia”
(Fortune, 1 Juni 1968 )

Pada tahun 1958, Pauker membeberkan pelajaran-pelajaran yang diperoleh sebagai akibat dari terisolasinya PSI dari rakyat pemilih dan kegagalan Soemitro Djojohadikusumo untuk mengadakan pemberontakan-pemberontakan di beberapa pulau, dalam suatu makalah yang dibaca luas yang berjudul “South East Asia as a Trouble Area in the Next Decade” (Asia Tenggara sebagai Daerah Bermasalah dalam Dekade Mendatang).
“Partai-partai semacam PSI tidak akan mampu untuk mengadakan kompetisi yang keras melawan komunisme”, tulisnya. “Komunisme pasti akan menang di Asia Tenggara kecuali kalau bisa didapatkan kekuasaan yang efektif untuk melawannya.” Ditulisnya, “Kekuatan untuk melawan yang ‘paling lengkap peralatannya’ adalah para perwira sebagai individu (oknum) dan Tentara Nasional sebagai struktur keorganisasiannya.”
Dari pengasingannya di Singapura, Soemitro Djojohadikusumo berpendapat, bahwa PSI dan Masyumi (dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA -Pen) yang telah diserang TNI itu sebenarnya adalah justru “sekutu yang sejati” dari Tentara. Tanpa mereka, secara politis Tentara akan terisolasi, katanya.
“Tetapi, untuk melaksanakan persekutuan itu, terlebih dulu rejim Soekarno harus ditumbangkan”. Sebelumnya Soemitro Djojohadikusumo telah memperingatkan agar jenderal-jenderal selalu mengadakan pengawasan yang ketat terhadap organisasi-organisasi tani komunis yang pertumbuhannya makin hari makin kuat. Dalam pada itu para sarjana-Ford, yang berada di bawah bimbingan Soemitro Djojohadikusumo, sudah mulai mengambil langkah-langkah untuk mengadakan pendekatan kembali.
Untung bagi Ford dan citra akademisnya, bahwa masih ada satu sekolah lagi, yaitu SESKOAD, sekolah perwira yang terletak di Bandung, 70 mil sebelah Tenggara Jakarta. SESKOAD ini adalah merupakan “pusat syaraf TNI”. Di sinilah para Jenderal memutuskan soal-soal keorganisasian dan politik; di sini pula para perwira senior secara bergiliran “ditatar” dengan buku-buku petunjuk dan metode-metode yang diambil dari Sekolah Komando di Fort Leavenworth Kansas - Amerika Serikat.
Pada tahun 1962, sewaktu team Berkeley sudah tidak ada lagi, Sadli, Widjojo Nitisastro, dkk dari Fakultas Ekonomi, secara teratur pergi ke Bandung untuk memberikan kuliah di SESKOAD. Frank Miller dari Ford yang menggantikan Harris di Jakarta, menceriterakan bahwa mereka (Sadli -Widjojo dkk.) memberi pelajaran tentang “aspek-aspek ekonomi dalam pertahanan”.
Pauker mempunyai ceritera yang lain lagi. Sejak pertengahan tahun 50an, dia cukup mengenal Staf Jenderal AD. Kesempatan pertama didapatnya dalam suatu tim MIT, dan yang kemudian dalam perjalanan-perjalanannya untuk RAND. Salah seorang sahabat baiknya adalah Kolonel Soewarto, deputy komandan SESKOAD. Kol. Soewarto adalah lulusan dari Fort Leavenworth pada tahun 1959. Pada tahun 1962 Pauker mengajak ke RAND. Sewaktu di RAND, di samping mempelajari “segala sesuatu tentang masalah-masalah Internasional”, Soewarto juga melihat bagaimana RAND “mengatur para ahli di negara tersebut untuk dijadikan konsultan”. Menurut Pauker, Soewarto telah kemasukan “ide-ide baru” pada waktu dia kembali ke Bandung.
“Empat atau lima orang ahli ekonomi dianggap sebagai ilmuwan sosial yang layak ditugaskan untuk memberikan kuliah dan mempelajari “masalah-masalah politik Indonesia di masa-masa yang akan datang” di SESKOAD.
Pada hakekatnya “para ahli” ini merupakan penasehat sipil tingkat tinggi bagi militer. Di SESKOAD mereka digabungkan dengan orang-orang PSI dan Masyumi lainnya yang merupakan lulusan dari program-program universitas seperti Miriam Budiardjo dari kelompok belajar-nya Pauker dari MIT, dan Selo Sumardjan dari program Kahin - Cornell, juga para senior dari ITB, di mana Universitas Kentucky sejak 1957 telah melakukan “institution building” untuk AID.
Dalam waktu yang singkat para ahli ekonomi ini telah masuk ke dalam komplotan anti komunisnya para Jenderal dan didukung oleh Soemitro dari pengasingan. Letjen Jani - Pangad, telah menarik beberapa Jenderal di sekelilingnya untuk menjadi “otak” (brain trust) para jenderal. Adalah sudah merupakan “rahasia umum”, bahwa Yani dan “brain trust”-nya, telah mengadakan diskusi tentang rencana cadangan (contingency-planning) guna “mencegah terjadinya kekacauan apabila Soekarno meninggal dunia secara mendadak”.
Menurut kolonel Willis G. Ethel, yang pada waktu itu menjabat atase pertahanan Amerika Serikat di Jakarta dan sahabat dekat Yani, sumbangan “mini-RAND”-nya Suwarto, adalah bahwa “para professor itu akan memberi kursus dalam contingency planning tersebut”. Kolonel Ethel adalah orang yang dekat dan dipercaya baik oleh Panglima Jani maupun oleh yang lain-lain yang ada dalam komando tertinggi militer, dia bahkan memperkenalkan mereka dengan permainan golf.
Sudah tentu yang mereka mengkhawatirkan tentang “mencegah kekacauan”. Mereka mengkhawatirkan PKI. “Mereka tidak akan membiarkan kaum komunis mengambil alih kekuasaan negara” kata kolonel Ethel. Di samping itu setiap perwira, kecuali yang berkepala batu, ataupun penasehat-penasehat, sudah tahu, bahwa dukungan rakyat terhadap Soekarno dan PKI begitu besar, maka pertumpahan darah akan terjadi, apabila sampai terjadi pertikaian.
Dalam pada itu, lain-lain institut juga bergabung dengan para ekonom dari Ford dalam mempersiapkan kelompok militer.
Perwira-perwira tinggi Indonesia mulai mengikuti program-program latihan Amerika Serikat dalam pertengahan tahun 50 an. Pada tahun 1965 kurang lebih 4.000 orang sudah mendapat pelajaran tentang komando Angkatan Darat dalam skala besar di Leavenworth dan tentang kontra pemberontakan di Fort Bragg. Sejak tahun 1962, ratusan perwira yang mengunjungi Harvard dan Siracuse telah memiliki keterampilan untuk memelihara organisasi ekonomi dan militer yang besar, dengan mendapat segala macam pelatihan mulai dari administrasi niaga dan manajemen kepegawaian sampai kepada pemotretan dari udara serta pelayaran. Selanjutnya “Public Safety Program” dari AID di Pilipina dan Malaya melatih serta melengkapi Brigade Mobile dari kepolisian Indonesia.
Melalui program bantuan Amerika, Angkatan Darat, di samping terus mengembangkan keahlian dan perspektifnya, juga meningkatkan peranan dan pengaruhnya di bidang politik dan ekonomi. Berdasarkan hukum darurat yang dinyatakan oleh Soekarno sehubungan dengan adanya pemberontakan di beberapa pulau, Angkatan Darat menjadi sangat berkuasa di Indonesia. Panglima-panglima Daerah mengambil alih Pemerintahan Propinsi, hal ini tentu merugikan PKI yang mendapat kemenangan dalam pemilihan anggota DPRD tahun 1957.
Karena takut kalau-kalau PKI menang mutlak dalam pemilu tahun 1959, para jenderal membujuk Soekarno agar menunda pemilu selama 6 tahun. Kemudian para jenderal ini dengan cepatnya mengendalikan puncak-puncak kekuasaan “demokrasi terpimpin” di bawah Soekarno, meningkatkan jumlah kementerian yang dikuasai hingga saat menjelang kudeta tahun 1965.
Karena bingung melihat keraguan Angkatan Darat mengambil ambil alih seluruh kekuasaan secara mutlak, para jurnalis menamakannya “kudeta yang merayap (creeping coup d’etat). Sementara Jenderal Nasution menyebutkan itu sebagai “jalan tengah”.
Angkatan Darat juga bergerak di bidang ekonomi. Hal ini dimulai terlebih dahulu dengan menguasai “pengendalian pengawasan”, untuk kemudian menduduki kursi-kursi direksi yang penting dari perusahaan milik Belanda yang dikuasai oleh serikat buruh PKI “untuk rakyat” ketika diadakan konfrontasi pengembalian Irian Barat pada Republik Indonesia pada tahun 1957.
Walhasil, para Jenderal pada menguasai perkebunan-perkebunan; industri kecil; perusahaan-perusahaan negara minyak dan timah, dan perusahaan-perusahaan eksport-import milik negara, yang pada tahun 1965 memonopoli pembelian-pembelian pemerintah dan kemudian meluas hingga penggilingan, pengapalan dan distribusi gula.
Para perwira tinggi yang tidak dilahirkan dalam aristokrasi Indonesia dapat dengan cepat menempatkan dirinya dan di desa-desa mereka membuat persekutuan (sering melalui keluarga) dengan para santri-tuan tanah yang menjadi tulang punggung dari partai Masyumi. Robert Shaplen dari New York Time menulis: “Angkatan Darat dan Polisi jelas menguasai seluruh aparatur negara”. Willard Hanna dari American University menamakannya sebagai “suatu bentuk baru pemerintahan -- perusahaan swasta militer”.
Ternyata “aspek ekonomi dari pertahanan” sebagai dimaksud oleh para ahli ekonomi tersebut di atas mencakup soal yang sangat luas di SESKOAD. Bahkan para professor itu membuatnya lebih luas lagi dengan juga mempersiapkan haluan ekonomi Indonesia untuk masa setelah pemerintahan Soekarno.
Walaupun kemenangan-kemenangan yang didapat dalam pemungutan suara di daerah-daerah seakan-akan ditiadakan dan PKI yang tidak mau memutuskan hubungan dengan Soekarno, tetap berusaha untuk sedapat mungkin masih dapat menarik keuntungan dari “demokrasi terpimpin”, dengan mengambil bagian dalam kabinet koalisi bersama-sama dengan tentara. Pauker menganggap strategi PKI itu sebagai “usaha untuk tetap membuka jalan di parlemen”, sambil berdaya upaya untuk mendapatkan kekuasaan melalui jalan “aklamasi”. Itu berarti membangun prestise PKI sebagai “satu-satunya kekuatan politik dalam negara, yang padu, bertujuan, berdisiplin, terorganisasi baik dan mampu”, sebagai tempat orang-orang Indonesia akan berbalik apabila “kemungkinan-kemungkinan penyelesaian yang lain telah gagal”.
Dilihat dari angkanya, komunis terlihat berhasil. Federasi buruh terbesar, organisasi petani, perkumpulan perempuan dan kelompok pemuda adalah anggota PKI. Pada tahun 1965, 3.000.000 orang Indonesia - sebagian besar di pulau Jawa yang padat - adalah anggota PKI, dan kira-kira 17.000.000 orang adalah anggota-anggota dari organisasi massa yang tergabung di dalamnya. Dengan demikian PKI merupakan partai komunis terbesar di luar Rusia dan Tiongkok. Pada awal kemerdekaan, anggota partai tersebut hanya 8.000 orang.
Pada bulan Desember 1963, Ketua PKI DN Aidit membenarkan “aksi sepihak” yang dilakukan oleh kaum tani untuk mendesakkan terlaksananya reformasi agraria (land reform) dan undang-undang bagi hasil yang telah ada, walaupun tuan-tuan tanah tidak memiliki tanah-tanah yang luas. Kurang dari separo dari petani-petani Indonesia, memiliki sendiri tanah garapannya, dan dari ini semua, sebagian besar memiliki kurang dari 1 acre ( 4356 M2 - Pen).
Soekarno yang melihat bahwa gerakan “aksi sepihak” itu akan membahayakan koalisinya, berusaha untuk menghentikannya dengan mendirikan pengadilan-pengadilan land-reform, yang di dalamnya duduk wakil-wakil kaum tani. Akan tetapi di desa-desa, polisi terus-menerus bentrok dengan petani — dan mengadakan penangkapan besar-besaran. Di beberapa daerah golongan pemuda santri mulai mengadakan serangan-serangan untuk membunuh para petani.
Karena Angkatan Darat memegang kekuasaan di sebagian besar daerah, aksi sepihak petani tersebut ditujukan terhadap kekuasaan AD. Pauker menamakan itu “perjuangan kelas di pedesaan”, dan menganggap bahwa PKI dengan demikian telah menempatkan diri di “arah yang berlawanan dengan Angkatan Darat”.
Berbeda dengan komunis Mao sebelum revolusi di Cina, PKI tidak mempunyai Tentara Merah. Sekali menempuh jalan parlementer, PKI tidak bisa ke luar dari itu. Pada tahun 1962, pemimpin-pemimpin PKI menuntut agar pemerintahan Soekarno (di mana mereka juga menjadi menteri-menteri dalam kabinet) membentuk “milisi rakyat” yang terdiri dari 5.000.000 buruh dan 10.000.000 tani bersenjata. Namun kala itu kekuasaan Soekarno sudah keropos. Angkatan Darat sudah merupakan negara dalam negara. Adalah mereka para tentara, dan bukan Soekarno atau PKI, yang memegang senjata.
Adu kekuatan terjadi pada bulan September 1965. Pada tanggal 30 malam, tentara, dibawah komando-komando perwira-perwira menengah yang mempunyai pendapat lain, bersama-sama dengan perwira-perwira dari AURI yang kecil, membunuh Jenderal Yani dan 5 orang anggota dari “brain trust” SESKOAD. Dengan dipimpin oleh Letkol Untung, para pemberontak merebut stasiun radio di Jakarta dan paginya menyiarkan bahwa G/30/S yang mereka lancarkan adalah ditujukan terhadap “Dewan Jenderal” yang mereka nyatakan disponsori CIA, dan merencanakan untuk mengadakan perebutan kekuasaan 4 hari lagi, yaitu pada hari Angkatan Perang.
Kudeta preventif Kolonel Untung digagalkan dalam waktu yang sangat singkat. Gerakan ini jelas tidak mempersiapkan demonstrasi-demonstrasi di jalanan, tidak mengadakan pemogokan-pemogokan, dan tidak ada perlawanan yang terkoordinir di desa-desa. Sungguhpun Soekarno, yang mengharap akan dapat mengembalikan imbangan kekuatan seperti keadaan sebelum kudeta, tidak tegas-tegas menentangnya.
Golongan Untung gagal dalam usahanya untuk membunuh Jenderal Nasution, sedangkan Jenderal Suharto, rupa-rupanya tidak termasuk dalam daftar mereka. Suharto mengerahkan para komando terpilih dan unit-unit dari Divisi Siliwangi Jawa Barat, menyerang pasukan Untung.
Pasukan Untung tidak percaya atas kemampuannya sendiri serta misi yang dibawakannya, sehingga mereka tidak mengadakan perlawanan sama sekali, waktu Suharto menggiring mereka dari posisi-posisi kuat yang telah mereka duduki. Kudeta berhasil digagalkan dalam satu hari.
Pimpinan Angkatan Darat segera menyalahkan terjadinya kudeta tersebut kepada kaum komunis, pernyataan yang sampai saat ini diikuti oleh pers Barat. Namun tidak adanya sama sekali kegiatan di jalan-jalan dan di desa-desa mengindikasikan tidak adanya keterlibatan PKI. Banyak ahli-ahli tentang Indonesia bersama-sama dengan Prof. W.F. Wertheim dari negeri Belanda percaya, bahwa “kudeta Untung sebagaimana dinyatakan oleh pimpinannya - adalah merupakan masalah intern Angkatan Darat yang mencerminkan adanya ketegangan-ketegangan yang serius antara perwira-perwira dari Divisi Diponegoro dengan Komando Tertinggi Angkatan Darat di Jakarta”.
Sebaliknya, kaum kiri, setelah terjadinya pembunuhan massal dan penggulingan Sukarno, berpendapat bahwa CIA sangat terlibat dalam peristiwa itu.
Memang sudah lama, staf Kedutaan Besar Amerika Serikat sering makan minum bersama para mahasiswa yang memimpin demonstrasi-demonstrasi untuk menggulingkan Soekarno. CIA memiliki hubungan yang dekat dengan Angkatan Darat, khususnya dengan Kepala Intel Achmad Sukendro. Setelah tahun 1958, Sukendro melatih kembali agen-agennya dengan bantuan Amerika Serikat. Dan pada tahun enam puluhan dia pergi belajar ke Universitas Pittsburg di Amerika. Di samping itu, baik Sukendro maupun lain-lain anggota Pimpinan Komando Indonesia juga mengadakan hubungan erat dengan atase-atase militer Kedutaan Amerika, yang rupanya menjadi penghubung utama Washington dengan Angkatan Darat, sebelum dan sesudah percobaan kudeta.
Dan melihat keadaan serta sejarah dari para jenderal dengan para sekutu “modernis” serta penasehat-penasehatnya, adalah jelas, bahwa dalam hal ini baik CIA maupun Pentagon tidak perlu memainkan peranan lebih, cukup sekadar peran pembantu.
Para professor dapat membantu membuatkan rencana “cadangan” bagi Angkatan Darat, tetapi tidak da yang meminta mereka melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan membuat “revolusi”. Mereka dapat menyerahkan tugas ini kepada para mahasiswa. Angkatan Darat tidak mempunyai organisasi massa, oleh karenanya Angkatan Darat sangat bergantung pada para pelajar dan mahasiswa itu dalam usahanya untuk menumbuhkan kepercayaan serta dukungan rakyat untuk memelihara kepemimpinan selanjutnya. Para pelajar itulah yang menuntut dan akhirnya mendapatkan “kepala Soekarno”, dan mereka pulalah yang melakukan propaganda dan meneriakkan jihad di desa-desa.
Akhir Oktober, Brigjen Syarif Thajeb - seorang yang digembleng di Harvard dan kemudian menjadi Menteri Perguruan Tinggi (kemudian duta besar untuk AS) mengumpulkan pemimpin-pemimpin mahasiswa di rumahnya untuk membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Banyak di antara pemimpin-pemimpin KAMI adalah mahasiswa-mahasiswa lama yang telah kena bujuk oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat. Sebagian dari mereka telah pergi ke Amerika Serikat dalam rangka American Field Service Exchange Students (pertukaran pelajar), atau mengadakan perjalanan selama satu tahun dalam rangka “Foreign Student Leadership Project “ (Proyek Kepemimpinan untuk Pelajar Asing) yang disponsori oleh National Student Association (Asosiasi Pelajar) Amerika Serikat pada tahun-tahun sewaktu diasuh oleh CIA.
Beberapa bulan sebelum kudeta, Duta Besar Amerika Serikat, Marshall Green tiba di Jakarta. Kedatangannya bersama reputasinya yang gemilang dalam mendalangi mahasiswa-mahasiswa Korea Selatan untuk menggulingkan Presiden Syngman Rhee, membawa desas-desus bahwa kedatangannya ke Jakarta adalah juga bertujuan untuk berbuat seperti di Korea Selatan itu. Setelah coup, buku-buku petunjuk untuk mengorganisir para pelajar segera dibagikan oleh Kedutaan Amerika Serikat kepada para pemimpin KAMI, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Korea.
Kepemimpinan KAMI yang paling militan datang dari Bandung, karena di ITB untuk selama 10 tahun Universitas Kentucky telah melaksanakan program “pembangunan institusi”-nya dan juga telah mengirim hampir 500 mahasiswa untuk mendapatkan pelatihan di Amerika Serikat.
Mahasiswa-mahasiswa dari universitas-universitas utama di Indonesia telah mendapatkan latihan para militer dari Angkatan Darat dalam rangka suatu program yang disarankan oleh seorang kolonel ROTC dari Berkeley yang sedang berlibur. Latihan mahasiswa-mahasiswa itu adalah “dalam rangka menghadapi usaha kaum komunis untuk merebut pemerintahan”, tulis Harsya W. Bachtiar, seorang ahli sosiologi Indonesia lulusan dari Cornell dan Harvard.
Di Bandung tempat markas Divisi Siliwangi yang terkenal berada, pada bulan-bulan sebelum kudeta latihan para militer mahasiswa ditingkatkan. Para pemimpin mahasiswa santri sesumbar menceriterakan pada teman-temannya dari Amerika, bahwa mereka sedang mengembangkan hubungan-hubungan organisatoris dengan golongan-golongan pemuda Islam ekstrimis di desa-desa. Golongan-golongan inilah yang kemudian menjadi ujung tombak pembunuhan massal terhadap pengikut-pengikut PKI dan petani-petani simpatisannya.
Pada pemakaman putri Jenderal Nasution yang menjadi korban salah tembak saat Untung mengadakan kudeta, Panglima Angkatan Laut Martadinata menyatakan kepada pemimpin-pemimpin mahasiswa santri untuk “menyapu bersih”. Pesannya adalah “bahwa mereka (para mahasiswa) boleh pergi membersihkan kaum komunis tanpa halangan sedikit pun dari pihak militer” demikian ditulis John Hughes, koresponden Christian Science Monitor untuk Asia.
“Dengan enaknya mereka (pemimpin-pemimpin pemuda-mahasiswa) itu mengerahkan pengikut-pengikutnya. Dengan membawa golok, pistol di pinggang dan pentungan di pundak, mereka berangkat melakukan tugas yang telah lama mereka harapkan itu”. Sebagai permulaan mereka membakar Kantor Pusat PKI. Ribuan orang PKI dan pendukung Soekarno mereka tahan di Jakarta. Anggota-anggota Kabinet dan Parlemen di “skors” untuk selamanya, dan mulailah pembersihan di Departemen-Departemen.
Pada tanggal 17 Oktrober 1965, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo memindahkan pasukan RPKAD-nya (Pasukan “Baret Merah”) ke daerah yang merupakan benteng PKI di Jawa Tengah, yaitu di sekitar daerah segitiga: Boyolali - Klaten Solo. Kata Hughes, tugasnya adalah “untuk membasmi jantung Partai Komunis di sana dengan cara apa saja yang diperlukan”. Setibanya di sana, Sarwo Edhi merasa kekurangan pasukan. “Kita memutuskan untuk mendorong rakyat sipil anti-komunis agar membantu pekerjaan kita”, katanya kepada Hughes. “Di Solo kita kumpulkan pemuda-pemuda, golongan Nasionalis maupun Islam. Kita latih mereka barang dua-tiga hari, kemudian kita kirim mereka untuk membunuhi orang-orang komunis”.
Dalam pada itu para mahasiswa ITB, yang telah mendapat pelajaran dari Team AID Kentucky, bagaimana membuat dan mengoperasikan pemancar radio, dimanfaatkan oleh pasukan elit yang dipimpin Sarwo Edhi tersebut, untuk menbuat unit-unit kecil pemancar radio (radio-radio amatir) dalam jumlah yang besar dan disebarkan di seluruh pusat-pusat kekuatan PKI di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Beberapa di antaranya mendorong kaum fanatik setempat untuk berjihad melawan kaum komunis. Kedutaan Besar Amerika Serikat membantu menyediakan suku cadang dan peralatan yang diperlukan.
Majalah “ Time “ menggambarkan hebatnya penyembelihan di Jawa pada pertengahan bulan Desember 1965 sebagai berikut :
Mahasiswa-mahasiswa dari Bandung dan Jakarta dibawa oleh Angkatan Darat untuk mengadakan riset tentang jumlah korban yang terbunuh. Laporan mereka tidak pernah dipublikasikan, tetapi bocoran yang didapat dari orang dalam kepada Frank Palmos, menyebutkan diperkirakan telah menelan 1.000.000. korban “Di daerah segi tiga” PKI, yaitu Boyolali, Klaten dan Solo, “hampir sepertiga dari penduduk mati atau hilang” demikian dilaporkan Palmos. Kebanyakan peninjau membuat perkiraan yang tinggi dan menaksir angka kematian sekitar tiga ratus sampai lima ratus ribu.
Para pelajar KAMI memegang peran mematikan kota Jakarta dengan demonstrasi-demonstrasi anti Komunis, dan anti Soekarno dipandang perlu. Pada bulan Desember 1965 untuk pertama kalinya Kolonel Sarwo Edhi berpidato di depan rapat KAMI di Jakarta. Pasukan-pasukan RPKAD membantu KAMI dengan truck, pengeras suara, serta memberikan perlindungannya. Para demonstran KAMI benar-benar menguasai kota Jakarta sekehendak hatinya.
“Ide-ide bahwa komunisme adalah musuh rakyat nomor satu, bahwa Tiongkok Komunis adalah bukan negara sahabat lagi melainkan ancaman bagi keamanan negara, serta korupsi dan inefisiensi di tingkat atas pemerintahan pusat, disebarluaskan di jalan-jalan di Jakarta”, kata Harsja Bachtiar, yang hasil penyelidikannya sebagai sarjana merupakan catatan peristiwa-peristiwa tersebut.
Pemimpin-pemimpin PSI dan Masyumi setelah selesai dididik oleh Ford dan profesor-profesornya akhirnya tiba kembali pulang. Mereka memberikan saran dan uang kepada para mahasiswa, sedangkan profesor-profesor yang berorientasi-PSI menjaga “hubungan erat sebagai penasehat-penasehat” dari para mahasiswa, kemudian membentuk Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI). Emil Salim, salah seorang ahli ekonomi yang baru saja datang dengan gelar doktor dari Berkeley, termasuk dalam pimpinan KASI. Ayah Emil Salim adalah seorang yang telah membersihkan sayap komunis dari dalam organisasi nasionalis terkuat sebelum perang, dan yang kemudian menjabat Menteri dalam Kabinet Masyumi sebelum kedaulatan Indonesia diakui.
Pada bulan Januari 1966, para ahli ekonomi tersebut menjadi berita utama dalam media di Jakarta dengan mengadakan Seminar Ekonomi dan Keuangan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia selama satu minggu. Pada prinsipnya seminar ini merupakan.....suatu demonstrasi (pameran) kerja sama dan solidaritas di antara para anggota KAMI, para intelektual anti Komunis, dan pimpinan Angkatan Darat. Seminar mendengarkan makalah-makalah dari Jenderal Nasution, Adam Malik dan tokoh lain-lain yang melawan dan menentang legitimasi dan kompetensi para elit dibawah pimpinan Presiden Soekarno.
Sebenarnya seminar ini merupakan suatu pengantar dari haluan ekonomi Ford, yang segera dimasukkan setelah terjadinya kudeta di Jakarta.
Pada bulan Maret, Jenderal Soeharto menghapuskan kekuasaan resmi Soekarno, dan mengangkat dirinya sebagai Pejabat Presiden. Dia mengajak pejuang politik Adam Malik dan Sultan Jogya untuk duduk bersama-sama dalam pemerintahan tiga serangkai.
Jenderal-Jenderal yang telah dikenal baik oleh para teknokrat sebagai SESKOAD - Yani dan brain-trust-nya telah terbunuh semua. Namun dengan bantuan Selo Sumardjan, yaitu seorang anak murid Kahin, akhirnya para teknokrat berhasil menjadi pembisik bagi Sultan dan kemudian juga Suharto mempengaruhi bahwa pihak Amerika akan perlu penekanan terhadap inflasi dan secepatnya akan kembali kepada “ekonomi pasar” (market economy). Pada tanggal 12 April 1967, Sultan mengumumkan suatu pernyataan politik yang sangat penting yaitu berupa garis besar program ekonomi rejim baru itu – pada kenyataannya merupakan pengumuman tentang kembalinya Indonesia ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.
Dalam memerinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja digariskan oleh Sultan itu, para teknokrat mendapatkan bantuan dari sumber yang memang telah diduga – Amerika Serikat. Ketika Widjojo kebingungan dalam menyusun rencana stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, seorang ekonom dari Harvard yang baru saja menyelesaikan pembuatan peraturan-peraturan perbankan di Korea Selatan, untuk membantu Widjojo dalam menyusun rancangan rencana tersebut. Juga Sadli, meskipun sudah mendapatkan gelar doctor, tetapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedutaan Besar Amerika Serikat, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
“Itu adalah usaha team. Pada waktu itu kita semua, para ekonom Indonesia, ekonom Amerika Serikat dan AID bekerjasama “, demikian menurut Calvin Cowles, orang AID yang pertama hadir di sana.
Pada permulaan September 1967, ahli-ahli ekonomi itu telah berhasil menyelesaikan rancangannya. Dan para jenderal diyakinkan akan manfaat rancangan tersebut. Setelah seminar singkat di SESKOAD, Soeharto menunjuk kelima orang paling top dari fakultas ekonomi tersebut sebagai Tim Ahli untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan, untuk gagasan tersebut Frank Miller dari Ford layak mendapat penghargaan. 

BAGIAN III
HARVARD: SEMUA DIBAWA PULANG

“Kita tidak dapat lagi menggambarkan suatu skenario yang lebih ideal lagi daripada apa yang telah terjadi. Orang-orang itu (para ekonom) begitu mudah masuk dalam pemerintahan dan mengambil alih pimpinan (management) urusan-urusan ekonomi, dan mereka meminta kita untuk bekerjasama terus dengan mereka”.
Gus Papanek, President Development
Advisory Service di Harvard.

“Kita menyaksikan kembalinya pandangan pragmatis yang menjadi ciri pokok dari koalisi PSI-Masyumi pada permulaan tahun 50-an, yaitu pada waktu Soemitro menguasai permainan”, demikian dijelaskan oleh seorang “insider” yang mendapat posisi sangat baik pada tahun 1966.
Dalam tahun itu juga (1966) Soemitro Djojohadikusumo secara diam-diam masuk kembali ke Jakarta. Dia segera membuka kantor konsultasi dagang, sambil menyiapkan diri untuk menduduki jabatan tinggi. Tidak lama kemudian terjadilah apa yang diharapkan. Begitu mendapatkan kesanggupan bantuan dari “raja-raja uang international”, rejim jenderal di Indonesia segera membentuk “Kabinet Pembangunan”.
Pada bulan Juni 1968, Jenderal Suharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan Ford, yang di Jakarta terkenal sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya).
v  Sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Soemitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari Rotterdam).
v  Sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy dari Berkeley, 1961).
v  Sebagai Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ).
v  Sebagai Direktur Jenderal Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964)
v  Sebagai Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy dari Berkeley, 1962).
v  Sebagai Ketua Team Penanaman Modal Asing (P.NIA) dirunjuk Moh. Sadli ( Master of Science dari MIT, 1956).
v  Sebagai Sekjen. Departemen Perindustrian ditunjuk Barli Halim (Master of Business Administration dari Berkeley, 1959 ).
v  Sedang “Koko” Sudjatmoko, yang sebelumnya menjadi penasehat Adam Malik, diangkat menjadi Duta Besar di Washington.
“Kita merasa, bahwa kita telah cukup melatih diri kita untuk itu, suatu kesempatan bersejarah yang menentukan jalannya kejadian”, demikian Sadli menyatakan pada reporter Fortune. Untuk mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, Ford segera melengkapi “orang Indonesia” (yang telah menduduki jabatan penting tsb.) dengan suatu hadiah “bantuan ahli” yang berupa suatu tim Pembangunan dari Harvard.
Development Advisory Service (DAS) dari Harvard ini adalah suatu kesatuan elite dari kaum modernis internasional yang dibiayai oleh Ford, yang sudah sejak tahun 1954 membawa pengaruh Ford kepada badan-badan perancang nasional di Pakistan, Argentina, Liberia, Columbia, Malaysia dan Ghana.
Secara resmi proyek Harvard - DAS ini di Indonesia baru dimulai pada tanggal 1 Juli 1968. Tetapi jauh sebelumnya, Kepala DAS — Gus Papanek, telah menanamkan orang-orangnya di Indonesia. Orang-orang inilah yang bersama-sama Cal Cowles dari AID pada tahun-tahun 50-an dan 60an mengembalikan “tangan-tangan lama” untuk Indonesia itu. Dengan dibiayai oleh Ford/ Harvard, David Cole kembali bekerja di Indonesia bersama Widjojo Nitisastro. Leon Mears, seorang ahli ekonomi pertanian yang sudah pernah mempelajari pemasaran beras di Indonesia di proyek Berkeley, datang ke Indonesia sebagai staf AID. Dia kemudian menetap sebagai tenaga dari Harvard. Dalam pada itu, Bill Hollinger, yaitu kawan lama Soemitro Djojohakusumo dari MIT, pindah dari proyek DAS di Liberia untuk mendampingi Soemitro Djojohadikusumo di Departemen Perdagangan.
“Orang-orang Harvard adalah penasehat-penasehat”, kata Wakil Direktur DAS, Lister Gordon, “Sekadar penasehat-penasehat asing yang tidak mengurusi pekerjaan administrasi, sehingga dengan demikian mempunyai waktu cukup untuk berpikir dan memikirkan gagasan-gagasan baru.”
“Mereka bekerja seperti pegawai Pemerintah”, tetapi diatur sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa orang-orang asing itulah yang mengerjakan segalanya. Pernah, karena didiskreditkan, mereka harus keluar dari Pakistan. “Kita berada di belakang layar ”, katanya.
Mereka juga berada di belakang layar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pada musim dingin tahun 1967-1968, berkat adanya panen yang baik dan beras dari “Food for Peace” Amerika Serikat yang diberikan pada saat-saat yang kritis, telah berhasil menekan harga dan untuk sementara dapat mendinginkan situasi politik.
Hollinger, orang dari DAS yang pertama muncul, datang pada bulan Maret, dan bekerja sepenuhnya untuk membantu para teknokrat dalam merencanakan strategi dan rencana pembangunannya. Dengan kedatangan teknokrat-teknokrat lainnya dari Amerika Serikat, maka mereka bersama-sama melanjutkan pekerjaan perencanaan tersebut.
“Apakah kita yang menghasilkan ataukah Ford Foundation yang menghasilkan, ataukah orang-orang Indonesia ?” tanya Cal Cowles dari AID, “Saya tidak tahu “.
Tanpa ramai-ramai, rencana tersebut mulai dilaksanakan pada bulan Januari 1969, dengan elemen utama mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Rencana itu merupakan “rencana pembangunan Amerika akhir abad ke 20”, yang kedengarannya sama dengan strategi kolonial Belanda cara pertengahan pada abad ke-19. (Ingat Etische Politieke - Politik Balas Budi penjajah Belanda dengan program 3 si nya: irigasi, edukasi dan transmigrasi, dan Opendeur Politieke-nya Penjajah Belanda yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal asing imperialisme internasional sesudah tahun 1850-an). Pada waktu itu (jaman penjajahan Belanda), buruh Indonesia — sering berfungsi sebagai pekerja rodi— menggantikan modal Belanda dalam pembuatan jalan-jalan dan penggalian saluran irigasi yang sangat diperlukan oleh perkebunan-perkebunan komersial untuk kapitalis Belanda.
Dipergunakannya: teknologi pertanian “modern” berhasil meningkatkan produksi padi di Jawa yang sangat diperlukan untuk mengimbangi meningkatnya jumlah penduduk. Rencana tersebut benar-benar mendatangkan pembaruan industri bagi negeri Belanda, tetapi sebaliknya hanya mengakibatkan makin meluasnya penderitaan di Indonesia. Sebagaimana halnya dengan strategi penjajah Belanda, Repelita, yang merupakan hasil kerja kaum terpelajar dari Ford itu, juga mempergunakan teknologi pertanian “modern” –yang disebut juga “revolusi hijau” dengan menggunakan bibit unggul padi hibrida— untuk mengimbangi kecepatan pertumbuhan penduduk di desa-desa dan untuk mencegah terjadinya perubahan yang “eksplosif” dalam kehidupan sosial, seperti misalnya dalam hubungan antar kelas-kelas sosial.
Walaupun AID pada waktu itu telah membantu proyek Center for South and South East Asian Studies di Berkeley, dengan maksud untuk mengadakan penggemblengan di perguruan tinggi, sebagaimana yang sudah dijalankan waktu itu, namun usaha ini tidak membawa hasil. Setelah diadakan perundingan dengan seorang sosiolog dari Harvard yaitu Harsja Bachtiar, yang sekarang memimpin lembaga riset di Fakultas dengan bantuan biaya Ford, maka kemudian proyek tersebut dimaksudkan untuk melatih sosiolog-sosiolog Indonesia guna “memodernkan” hubungan antara kaum tani dengan kekuasaan Angkatan Darat di seluruh negeri.
Rencana bidang pertanian ini dilaksanakan oleh team pertanian istimewa dari pemerintah pusat, yang orang-orangnya pernah dilatih di Institut Pertanian Bogor, dalam program Universitas Kentucky yang dibiayai AID. Dalam pelaksanaannya dinas-dinas pertanian di daerah-daerah telah ditetapkan sebagai agen-agen tunggal dalam penjualan bibit serta pembelian beras, yang menempatkan mereka dalam persekutuan dengan komandan-komandan tentara di daerah —yang sering mengawasi perusahaan pengangkutan beras dan santri-santri tuan tanah yang peningkatan pendapatannya hanya dipergunakan untuk menambah kekayaan pribadinya. Para petani merasa berada dalam keadaan tidak berdaya, akan tetapi apabila mereka berani menentang, mereka akan dinyatakan menghambat program nasional, antek-antek PKI, dan tentara akan menindaknya.
Menurut observasi professor Belanda, Wertheim, rejim yang berkuasa di Indonesia sekarang ini “terang-terangan melakukan perjuangan rejimnya sendiri” dalam suatu bentuk perjuangan yang harus “dimodernisasikan” oleh kaum teknokrat lulusan Harvard.
Ditinjau dari sudut ekonomi, maka yang menjadi masalah pokok sekarang adalah pengangguran yang semakin meluas di Indonesia, sedangkan dari sudut politik Suharto perlu melegitimasi kekuasaannya melalui PEMILU. “Apabila Suharto dipilih oleh rakyat, maka ini akan lebih baik bagi pemerintah, bukan hanya sekadar menghindari kekacauan” demikian dilaporkan oleh Papanek pada bulan Oktober 1968. Papanek mengatakan bahwa “program pekerjaan yang betul-betul luas, yang dibiayai oleh impor barang-barang PL 480 yang dijual dengan harga murah, dapat dengan cepat memberikan keuntungan-keuntungan politis dan ekonomis di desa-desa”.
Harvard mengusulkan program terbarunya yang disebut “pembangunan pedesaan”, yang akan memperkokoh kekuasaan komandan-komandan militer di daerah-daerah. Kucuran dana-dana yang dimaksudkan untuk mengembangkan proyek padat karya, program ini diharapkan dapat meningkatkan otonomi daerah melalui pemerintah setempat. Uangnya ternyata terutama mengisi kantong-kantong militer atau untuk suap sehingga mereka tetap menguasai penduduk sipil. Direktur DAS, Papanek, mengakui, bahwa programnya sebenarnya untuk masyarakat sipil dalam pengertian yang luas, sebab penguasa-penguasa daerah kebanyakan orang-orang militer. “Lagipula militer menguasai dua macam tenaga buruh yang sangat banyak dan murah, dan nyatanya mereka - mereka ini sudah bekerja untuk `pembangunan desa’”.
Tenaga-tenaga tersebut, yang pertama adalah 300.000 orang tentara itu sendiri. Sedang lainnya adalah 120.000 tahanan politik, yang sampai sekarang masih ditahan dalam rangka pembersihan yang dilakukan oleh militer terhadap orang-orang komunis pada tahun 1965-1966. Beberapa peninjau memperkirakan, bahwa masih ada lagi tahanan yang jumlahnya dua kali lipat tahanan tersebut, yang bukan anggota PKI, tetapi Angkatan Darat khawatir mereka telah menjadi komunis setelah berada di kamp-kamp konsentrasi itu.
Meskipun beras yang berasal dari PL 480 (Food for Peace) melimpah, tetapi tidak ada sedikitpun yang diberikan pada para tahanan. Karena untuk mereka pemerintah telah menyediakan uang makan sedikit diatas satu penny setiap harinya (kurang lebih Rp. 5,-).
Sedikitnya dua wartawan telah memberitakan tentang keadaan para tahanan di Sumatra, yang ditempatkan di tengah-tengah perkebunan karet milik Good Year, di mana mereka sebagai buruh yang tergabung dalam PKI pernah bekerja sebelum adanya pembunuhan massal. Sekarang, demikian koresponden-koresponden tersebut, mereka menyadap pohon-pohon itu dengan upah rendah, yang dibayarkan kepada para penjaga.
Di Jawa Tengah, Angkatan Darat mempekerjakan para tawanan untuk pembuatan dan perbaikan jalan-jalan serta pekerjaan umumya lainnya. Pada tahun 1968 Professor Herbert Feith dari Australia diajak berkeliling satu kota di Jawa, di mana para tawanan telah membangun rumah untuk jaksa, gedung sekolah, Masjid dan yang sedang dibangun waktu itu ialah gereja Katholik. Diterangkan kepadanya bahwa “Sangat mudah untuk membuat mereka bekerja, cuma perlu dipaksa sedikit”.
Para jenderal takut untuk mendemobilisir pasukan-pasukan, sebagaimana mereka juga takut dan tidak mau untuk membebaskan para tawanan. Dalam hubungan ini seorang pegawai Departemen Luar Negeri menerangkan: “Kita tidak dapat menambah jumlah kaum penganggur dengan orang-orang yang tahu bagaimana cara menembakkan senjata”. Sebagai konsekuensinya, maka makin banyak anggota pasukan harus dipekerjakan sebagai tenaga buruh dalam pembangunan jalan-jalan, yang untuk ini, Pentagon (Departemen Pertahanan Amerika Serikat ) menyediakan alat-alat berikut penasehat-penasehatnya.
Dijadikannya Penanaman Modal Asing sebagai dasar dari Pelita, di samping merupakan balas jasa terhadap strategi Ford selama 20 tahun di Indonesia, adalah juga merupakan “periuk emas” yang harus dijaga oleh “kaum modernis” yang dibayar oleh Ford, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari Amerika.
Strategi penjajah Belanda dalam abad 19 mengutamakan pembangunan ekonomi eksport hasil pertanian. Tetapi orang-orang Amerika sekarang memusatkan perhatiannya pada pengolahan kekayaan alam, terutama pertambangan.
v  Freeport Sulphur membuka pertambangan di Irian Barat.
v  International Nickel telah berhasil memperoleh tambang nikel di Sulawesi.
v  Alcoa akan mengadakan perundingan untuk mendapatkan sebagian besar tambang bauxit di Indonesia.
v  Dalam pada itu Weyerhaeuser, International Paper, Boise Cascade dan perusahaan - perusahaan kayu dari Jepang, Korea dan Philipina akan menebangi kayu-kayu di hutan-hutan rimba di Sumatra, Irian Barat dan Kalimantan.
v  Suatu konsorsium dari pengusaha-pengusaha tambang raksasa dari Amerika Serikat dan Eropa, dengan dipimpin oleh US-Steel akan membuka pertambangan nikel di Irian Barat. Dua buah lagi lainnya yaitu US-British dan US-Australian, akan membuka pertambangan timah. Sedang yang ke empat US - New Zealander, berusaha untuk mendapatkan batubara.
v  Di samping itu Jepang akan menguras udang, ikan tuna dan mutiara dari lautan kepulauan Indonesia itu.
Modal Indonesia lainnya yang belum dieksploitasi adalah berupa 120.000.000 orang penduduk Indonesia itu sendiri, yang merupakan separo dari penduduk Asia Tenggara.
Seorang pengusaha elektronik dari California yang sedang melakukan perakitan di Jakarta dengan sombongnya mengatakan: “Indonesia sekarang ini merupakan pusat tenaga buruh perakitan yang terbesar di dunia, yang cakap-cakap dengan upah yang rendah”. Harganya hanya 10 sen sehari ( kira-kira Rp.37,50 ).
Tetapi hadiah yang terbesar yang sesungguhnya adalah minyak. Pada tahun 1969 terdapat 23 buah perusahaan minyak yang telah mengajukan permintaan untuk mendapatkan hasil eksplorasi, eksploitasi dan menjual minyak yang terdapat di dasar Lautan Jawa dan di lain-lain perairan di pantai-pantai Indonesia. Dari jumlah tersebut, 19 di antaranya berasal dari Amerika. Natomas dan Atlantic-Ricfield mendapatkan konsesi minyak seluas 21.000 mil persegi (kira-kira 5.382.400 HA), di sebelah Timur pulau Jawa. Perusahaan-perusahaan lain yang telah menandatangani kontrak, melihat nilai sahamnya membubung tinggi bersamaan dengan meningkatnya persaingan, khususnya setelah adanya penemuan-penemuan baru di Alaska Utara.
Ford, bagaikan seorang ibu yang terlalu sayang pada anaknya, mensponsori suatu proyek baru yang dijalankan oleh Berkeley. Proyek baru tersebut diadakan di Fakultas Hukum Universitas California, dan dimaksudkan untuk “membangun sumberdaya manusia yang diperlukan untuk menangani perundingan-perundingan dengan investor-investor asing di Indonesia”.
Dalam pada itu, “kekacauan-kekacauan “ di Indonesia sebagai suatu hal yang ingin dicegah untuk selama-lamanya oleh Ford dan kaum modernis, berpotensi untuk timbul lagi. Pada akhir 1969, pasukan-pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat mengumpulkan 5.000 orang desa - yang nampak keheran-heranan dan ogah-ogahan - dalam suatu latihan militer yang lebih menunjukkan ketakutan Suharto dibanding “stabilitas politik” di Indonesia. Diumumkan, bahwa latihan itu adalah merupakan latihan “penguasaan daerah”. Para perwira memberitahukan pada wartawan, bahwa latihan tersebut akan menggambarkan suatu invasi imaginer (penyerbuan dalam khayalan) untuk mencegah timbulnya suatu “potensi pilar kelima” di daerah bekas basis PKI. Tetapi... pada waktu tentara lewat di desa-desa (dalam rangkaian latihan tersebut) mereka tidak mendapatkan sambutan yang meriah. Demikian ditulis seorang reporter dari Australia, yang selanjutnya mengatakan: “Bagi orang yang tidak tahu, maka Divisi Siliwangi (yang sedang latihan tersebut) akan terlihat seperti tentara pendudukan”.
Pada waktu ini memang tidak ada lagi pembicaraan tentang land-reform maupun tentang mempersenjatai rakyat. Akan tetapi berdiam diri-nya rakyat itu adalah karena terpaksa.
Di desa-desa bekas basis PKI di Jawa, kini tuan tanah dan para perwira takut keluar malam. Kalau ada yang keluar, maka kadang-kadang paginya ditemukan dalam keadaan lehernya terpenggal. “Para jenderal menggerutu tentang adanya ‘PKI malam’”


Catatan:
  1. WIRA, di dalam tulisannya yang berjudul “Pelacuran Intelektual”, telah menuduh sekelompok “teknokrat” yang mau bekerjasama di bawah kekuasaan Soekarno di jaman Orde Lama, sebagai telah melakukan “pelacuran intelektual”.
  2. Tuduhan itu telah mengancam “kekompakan warga kaum teknokrat”, yang sedang memegang posisi penting di dalam pemerintahan Orde Baru ini, dan salah-salah bisa membongkar segala rahasia permainan masa lalu yang dijalankannya.
  3. Melihat bahaya itu, Professor Soemitro, sebagai pimpinan dan pemegang peran utama di dalam warga kaum teknokrat yang oleh David Ransom di sebut sebagai “The Berkeley Mafia”, telah muncul untuk mengambil seluruh pertanggunganjawaban, dan berhasil memadamkan polemik heboh Pelacuran Intelektual yang sedang berkecamuk kala itu.
  4. Di dalam tulisan itu, pada pokoknya Professor Soemitro menjelaskan :
a)      Adanya tiga bentuk perjuangan kaum Sosialis Kanan (SOSKA )/PSI di bawah kekuasaan Soekarno, yaitu:
1)      Mengadakan perlawanan secara keras dan terbuka, yang bagian ini dia pimpin sendiri. Sebagaimana kita ketahui, Professor Soemitro Djojohadikusumo telah memimpin pemberontakan PRRI, yang bersama PERMESTA, dan atas bantuan CIA imperialis Amerika, — ingat senjata-senjata bazooka dan pemboman Allan Pope telah berhasil menguasai 1/6 kekuasaan/ wilayah Republik, meskipun akhirnya bisa dihancurkan oleh seluruh kekuatan rakyat dan ABRI.
2)      Secara terbuka mengadakan penekanan dan perongrongan terhadap pemerintah dengan menelanjangi terus menerus lewat media massa, segala keburukan dan kekurangan pemerintah, yang kelompok ini antara lain ditempuh oleh Muchtar Lubis.
3)      Pura-pura menyetujui darn mau duduk dalam lembaga-lembaga pemerintahan/kekuasaan di bawah Soekarno, dengan tujuan tersembunyi untuk tetap mempertahankan dan membangun basis, sebagai tempat penyusunan kekuatan, yang bagian ini antara lain ditempuh oleh Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Sadli dan teknokrat lain yang bercokol di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
b)      Mereka yang dituduh oleh WIRA sebagai telah melakukan Pelacuran Intelektual, sebenarnya adalah kelompok yang menjalankan tugas dengan menempuh bentuk ketiga, dan oleh karena itu tidak benar kalau mereka dituduh sebagai penyeleweng.
c)      Dilihat dari segala norma dan langkah yang dijalankan selama itu dan yang telah disetujui bersama, semua warga kaum teknokrat telah menjalankan semua tugasnya dengan baik, dan kini telah berhasil memegang peranan penting di dalam pemerintahan Orba ini.
d)     Bentuk-bentuk dan isi hubungan yang mereka adakan selama berada di bawah pemerintahan Soekarno; baik waktu Soemitro Djojohadikusumo masih memimpin PRRI, maupun setelah dia lari dan berpindah-pindah tempat di luar negeri adalah sebagai berikut :
1)      Di Padang dengan Sadli yang baru datang dari belajar di Amerika, dibicarakan masalah pembangunan basis-basis kekuatan di dalam negeri, khususnya di Universitas-Universitas.
2)      Di berbagai tempat di luar negeri, dengan secara terpisah-pisah, dengan para teknokrat anak muridnya yang sedang mampir dalam rangka berangkat belajar ke luar negeri atau sedang pulang dari belajar di luar negeri (Amerika Serikat ).

  1. Meskipun dalam bentuk yang sangat halus dan samar-samar, dan sudah barang tentu juga jauh dari lengkap, namun tulisan yang diutarakan oleh Professor Soemitro Djojohadikusumo tersebut, setidak-tidaknya akan sedikit memperjelas, sejauh mana kebenaran atau ketidakbenaran artikel David Ransom tentang Mafia Berkeley yang dikutip ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar